Jaga Hati Agar Tak Mati

"Jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati lentera hidup ini”. Begitulah sepenggal lantunan nasyid tentang hati yang mengingatkan kita agar selalu untuk bisa menjaga hati di dalam segala suasana. Karena hati merupakan lentera bagi kehidupan kita. Jika hati kita baik, maka baiklah hidup kita. Sebaliknya jika hati kita jelek, maka jelek pula lah hidup kita. Hati sangat berpengaruh di dalam kehidupan kita. Maka sudah semetinya kita mampu menjaga hati kita, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh lantunan syair jagalah hati tersebut. Karena jika hati kita sampai ternodai, maka bisa membuat diri kita menjadi hilang kendali. Hati  yang ternodai, akan sulit untuk bersikap arif, apalagi teliti. Semua tak bisa lagi tersusun rapi dengan keindahannya. Ketika hati hilang kendali karena sejenak diri kita lupa kepada-Nya, maka kelembutan hatipun dapat luntur seketika. Apalagi tatkala emosi yang bicara, maka ego mampu meluap dengan luasnya. Itulah sebabnya, mengapa hati perlu kita jaga. Menjaga hati dengan segala kemurnian amalan ruhiyah dengan sebaik-baiknya. Tanpa mengenal waktu, hari, bulan, bahkan tahun sekalipun. Ruhiyah wajib selalu kita isi, bahkan kita update agar selalu terjaga dan tidak ada virus yang bisa mengotori. Karena hati sangat besar pengaruhnya, hatilah yang mampu menunjukkan  siapa dan bagaimana diri kita sebenarnya. Seorang yang lembah lembutkah kita, atau seorang yang arogankah kita. Hendaknya kita mampu menjaga hati dari arogansi diri, agar ia tidak keras lalu mati. Menjaga hati dari segala kobaran emosi, agar ia mampu terkendali dan tidak menyakiti. Memang ada kalanya kita sebagai manusia melakukan khilaf karena segala ulah bumi, sehingga tak jarang membuat diri hilang kendali. Sehingga emosipun meluap kian menjadi-jadi. Akan tetapi, apakah lantas yang demikian itu mampu mengarahkan kita pada ketenangan hati? Tak sepatutnya jika kita langsung menghujani bumi dengan bara emosi, dan kemarahan yang menjadi-jadi. Hanya karena segala peristiwa bumi yang tidak mengenakkan hati. Sebab hal tersebut tidak akan membawa kita menepi, apalagi membawa pada ketenangan hati yang mampu menentramkan hidup kita nanti.

Kita memang bukan Rasulullah SAW yang mampu menjaga kelembutan hati dengan eloknya diri, yang mudah memaafkan segala kesalahan dengan segala ketulusan hati, yang memiliki ruang keikhlasan sangat luas bagi seluruh penduduk bumi. Akan tetapi, apa salahnya jika kita berusaha untuk belajar mengikuti, kita berusaha untuk bisa meneladani. Tidak harus dengan sifat yang sepenuhnya sama dengan Beliau, atau 90% menyamai.  Tetapi setidaknya kita mampu mengambil sebagian dari apa yang Beliau contohkan, untuk kita pelajari. Yang kemudian kita implementasikan di kehidupan sehari-hari, walau tidak sepenuhnya menyerupai. Memang terasa sakitnya hati, ketika sebuah kepercayaan dikhianati. Ketika sebongkah kemarahan menghujami tanpa permisi, karena fitnah dunia yang mendzolimi. Sudah pasti kesemuanya itu mampu membuat luka diri. Kita mungkin tidak akan bisa menerima keadaan ini, dan akan bilang “sakitnya tuh disini, di dalam hati”. Sehingga mengakibatkan banyak luapan emosi yang mungkin tidak mampu lagi kita jaga dalam diri, bahkan tak sering membawa dendam dalam hati. Sungguh ironis dan merugi jika kita menemui  kenyataan diri yang seperti ini.

Sekarang begini mari kita sama-sama coba pikirkan, apakah iya kita tega membiarkan hati menjadi mati hanya karena ulah cerita bumi? Atau membiarkan hati yang sedang sakit itu kian menjadi-jadi dan menjadi tanpa arti? Silahkan pikirkan sendiri, tanpa sembunyi. Ingatlah, bahwa kita tidak akan menemukan kedamaian di dalam hidup, ketika kita tidak mampu mengendalikan segala luapan emosi, yang kerap membanjiri ruang lingkup diri. Karena kita hidup di persimpangan bumi, yang kapan saja luapan peistiwanya itu pasti ada yang bisa membuat kita menjadi sakit hati, marah, dan emosi diri. Akan tetapi tetaplah berusaha menjaga hati, jadilah diri yang pandai menyikapi segala ocehan bumi.

Itulah sebabnya mengapa kita harus mampu mengantipasi diri, dan terlebih lagi menjaga hati agar bersih diri. Lantas bagaimana jika hati sudah terlanjur tersulut dengan amarah dan emosi bumi? Bagaimana agar semua itu tidak menjadi masalah hati lagi? Kemana kita harus mengobati? Ibarat tubuh, jika kita sudah mulai merasakan tubuh ini kurang fit atau tidak sehat, pastinya yang kita lakukan adalah mencari dokter atau pengobatan untuk tubuh tersebut, agar tubuh tidak menjadi lunglai seketika dan sakitnya semakin menjadi. Begitupun dengan hati, jika kita merasa sudah mulai tak bersahabat lagi karena ulah bumi yang menghampiri, maka segeralah mencari cara untuk segera memperbaiki, agar sakitnya hati tak semakin menjadi parah dan semakin menjadi. Segeralah ingat sang Illahi, beristighfar dan memintalah kelembutan tangan-Nya agar mengusap dada kita, sehingga diri terjaga dari luapan emosi. Karena jika emosi telah menguasai diri, maka logika tak mampu lagi berpikir dengan jernihnya. Hati tak mampu lagi memberi kelembutannya pada diri.

Hati-hatilah dengan hati, jagalah hati agar tak mati. Pandai-pandailah diri kita mengelolanya dengan pupuk made in Illahi. Jangan sampai arogansi diri membawa kita pada kerasnya hati. Jangan sampai sulutan emosi yang ada membawa kita kepada sakitnya hati. Jangan sampai kerasnya hati, sakitnya hati, kemudian membuat hati kita menjadi mati. Memang gampang-gampang sulit menata hati, memang tak seringan berkata-kata menjaga hati. Dan tidak juga semudah seperti membalikkan kedua tangan menstabilkan hati. Apalagi jika yang punya hati telah tersulut oleh peristiwa arogansinya bumi, dan jauh dari sang Illahi. Tetapi, apakah lantas sikap kita harus tiba-tiba menjadi dingin oleh bumi? Sesungguhnya tidak harus demikan. Tidak pantas kita marah pada bumi karena ceritanya telah tak mengenakkan hati, apalagi sampai menyombongkan diri karena ceritanya yang menyanjung hati. Tidak pantas untuk kita bangga diri, jika kita belum bisa mengelola hati, jika sampai hari ini, detik ini diri kita  masih dengan mudahnya tersulut oleh lautan emosi karena aneka cerita bumi.

Ketahuilah bahwa kita adalah pengemudi sang hati, diri kita sendirilah yang mampu mengatur hati di atas lembar hitam putihnya kehidupan ini. Labuhkanlah diri pada istana Illahi, agar  kita mampu menjaga dan mengelola hati, sehingga terjauh dari segala ego diri yang bisa membakar emosi. Damaikanlah hati pada cahaya Illahi, agar menjadi tentram setiap langkah kaki. Ajaklah hati menuju muara cinta Illahi, agar tenang jiwa dan pikiran diri. Indahkanlah hati pada kerendahan diri, agar kita mampu melihat setiap sisi. Tidak akan merugi kita melunakkan hati, pada semua ulah bumi yang kerap menghampiri. Memaafkan segala yang menyakitkan hati, itu lebih arif diri, dan akan menghindarkan kita dari bengkaknya hati. Sebesar apapun itu, sesakit apapun itu, tempatkanlah hati pada kelembutan yang memperindah diri. Jangan sampai salah menempatkan hati, karena itu bisa membawa kita pada jurang yang menistakan diri. Apapun prilaku bumi, apapun cerita yang mewarnai, mencobalah berdamai dengan segala kelembutan hati yang kita miliki. Karena tidak akan mati harga diri, ketika kita memilih untuk lebih melembutkan hati di dalam menghadapi segala ulah bumi, yang mungkin kedatangannya terkadang menyakitkan diri. Sebagai seorang muslim yang sejati, sudah sepatutnya kita pandai menjaga hati agar tak tergelincir kaki oleh arogansi bumi. Dan yang lebih penting adalah bersyukur selalu kepada Sang Illahi. Mengingatnya setiap hari, menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, adalah cara yang paling relevan untuk menjaga hati. Semoga hati-hati kita selalu terpaut kepada cinta-Nya, sehingga keelokan hati tidak hilang dan mudah ternodai oleh aneka cerita bumi yang merajai diri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

🌈Melukis Pelangi Di Tengah Hujan

Cinta Sejati

🥀Perang Melawan Diri Sendiri