Pengamen Itu Guru Terbaikku #1

Jakarta, Agustus 2008; Ini adalah tepat untuk ketiga kalinya kupijakkan kaki di ibukota negeriku tercinta. Bukan untuk keperluan kuliah apalagi untuk sebatas memenuhi wawancara kerja. Untuk hari ini, itu sudah cukup dulu bagiku. Hellooo !! apakah kalian tahu, ada kabar gembira untukku hari ini. Pagi ini adalah awal aku masuk kerja. Luar biasa Allah Maha Indah, bisa dikatakan inilah mimpiku saat kuliah dulu. Masih teringat jelas, dulu pertama kali kupijakkan kaki di gedung megah ini, di kawasan ini, pada saat field trip bersama teman-teman semasa kuliahku. Saat itu pernah karna disebabkan oleh keisenganku, seorang dosen menegurku dan teman-temanku, "Kalian disini itu belum ada apa-apanya, ilmu kalian itu masih terlalu kecil, hanya orang-orang terpilih, orang-orang pintar yang bisa masuk kesini. Lihat, mereka semua itu adalah para eksekutif muda yang berkelas dan berwawasan, serta memiliki inteligensi yang tinggi. Kalian tahu, kawasan ini adalah kawasan bonafit. Jadi jangan buat yang aneh-aneh disini. Dengarkan, ikuti semua pengarahan dan pemaparan dengan benar. Tanya saja apa yang seharusnya ditanyakan, jangan provokatori teman-teman dengan sifat ingin tahumu yang terlalu berlebihan." Hmmm, waktu itu cuma bisa tersenyum, tapi hati antara dongkol dan sebel mendengar kata-kata sang dosen yang mengkerdilkan kami semua. Jika ingat itu, rasanya seperti baru saja kemarin terjadi. Dan seperti mimpi jika hari ini, kaki ini bisa berdiri dan duduk di tempat ini. 

"Hey girl...look, this is trading floor, this is real, this is not dream" (batinku dalam hati). Aku bisa mengatakan..."hello, your account number, please? your take action now" dengan ditemani seperangkat headphone di telingaku dan sepasang monitor untuk menganalisis semua pekerjaanku. Inilah yang dulu hanya bisa ku lihat dari atas, yang hanya dibatasi oleh kaca saja, sambil diteriaki sang satpam, hey kamu!! jangan terlalu mendekat ke situ, dan dilarang mengambil foto di area itu. Jika ingin melihat harap agak sedikit menjauh dari kaca. Ngenes banget dah rasanya waktu itu hahaa.. Antara jiwa kampungan dan penasaran, membaur menjadi satu. Karna itulah baru pertama kalinya ke ibukota dan melihat pasar saham beserta realitanya.
****

Siang ini kakiku terburu-buru. Langkah seribu ku ambil memaju sang waktu. Segala gundah dihatiku membuat berantakan semua agenda kerjaku. Sementara ponselku sejak tadi tidak berhenti-hentinya bernyanyi merdu. Sang GM yang menurutku manis itu, telah berkali-kali memanggil lewat ponselku, selalu menanyakan ada dimana dan sudah sampai mana, kenapa jam segini belum sampai-sampai juga. Ada firasat tak enak dalam kalbu, ketika mendengar nada sang GM dari gawaiku.  Aku tahu, hari ini adalah jadwalku persentasi untuk salah satu calon klien perusahaanku. Huwaaaaa, persoalan itu telah merusak pikiranku dan sedikit membuat berantakan segala planing kerjaku. Macet, kau membuatku bisu. Tak berkutik seperti batu. Tapi tidak untuk ponselku. Ku lihat jam di tanganku sudah menunjukkan hampir pukul sebelas siang, padahal janji pada klien jam 10.00 wib, krn jam 9.00 wib open market untuk bursa saham.  Sementara di lain tempat, sang GM terus memantau perjalananku. Membuat ku menyerah pasrah pada apa yang akan terjadi nanti. Akhirnya tepat jam 11.15 wib kaki baru berpijak di depan gedung pencakar langit yang super megah, yang bernama BEJ tower itu. Yang memiliki bangunan sekitar 39 lantai. Langsung ku langkahkan kaki memasuki area gedung dan  menaiki lift, guna menuju gedung dan ruang kerjaku. Dan benar saja, disana sudah ada yang sepasang mata yang siap menerkam ku seperti singa. Tanpa basa nasi sang GM menyapaku, "Jam segini baru sampai kantor, sdh jam berapa ini syifa? Kamu tahu kan kalau sebentar lagi jam 11.30 wib kita sudah close market. Sementara kita janji dengan klien di kantor pukul sepuluh. Baru sebulan kamu bekerja, tapi sudah buat ulah. Ini ketiga kalinya kamu terlambat amat parah. Gagal sudah planing kita hari ini, calon klien sudah marah-marah dan pulang begitu saja". Habis sudah diriku terkena omelannya, yang menggelegarkan dunia. Huft! Ya sudahlah. Nikmati saja pikirku. Memang sudah takdirku hari ini.

Ah, macet-macet terkadang kau selalu saja membuat masalah untuk diriku. Padahal setiap harinya sudah sangat pagi sekali aku berangkat dari rumah, menuju terminal rambutan untuk menaiki bus 219 guna menuju tempat kerjaan. Malang belum punya kendaraan. Pasrah dengan segala alur kehidupan. Sebab faktanya, inilah realita jakarta. Dimana semua ada, dari pesona indah sampai pesona resah. Dan itulah yang ada dalam kisah. 

Sejak kemarahan itu, hatiku menjadi tak menentu. Terlalu sering aku kena Omelan GM ku, karena jarak tempat tinggal tanteku yang agak jauh. Tebet Jakarta selatan - sudirman Jakarta pusat. Jiwaku yang sekarang bergelayut tak menentu. Tentang pekerjaanku, tentang hobi menulisku, tentang penampilanku, dan juga tentang kehebohan teman-teman holaqohku dulu. Ah, tiba-tiba aku rindu! Tiba-tiba aku menjadi tidak nyaman dengan pekerjaanku. Apalagi setelah mengikuti meeting siang tadi, rasanya susah sekali untuk izin sholat tepat waktu. Dan itu bukan hanya sekali atau dua kali. Jiwaku semakin meresah oleh gundah tentang semua. Di samping itu, penampilan jilbabku yang mulai berubah. Jilbabku sudah tak seperti dulu, walau masih menjulur ke dada namun sudah sedikit naik keberadaannya. Ditemani sepasang blezer dan celana panjang yang menggoda. Sekilas mata penampilan bonafit adanya, layaknya eksekutif muda yang elegan penampilannya. Pekerjaan ini telah mengubah semuanya, tuntutan pekerjaan katanya. Ah, resahku mulai menggoda ke ujung kepala. Tiba-tiba aku ingat dosa. Otakku menjadi kacau tak beraturan. Yang ku tahu hanyalah, aku rindu hari ini. Pada aku yang dulu.
------*****------

Slipi, Maret 2009; Ini adalah tepat hari lahirku, tapi entah mengapa aku merasa tak ada satupun perubahan dalam diriku. Yang ada aku merasa semakin modis saja dengan penampilan kerjaku. Semakin percaya diri bahwa ini adalah terbaik untuk perjalanan hidupku. Percaya diri bahwa Allah memaklumi semua perubahanku. Akupun semakin lupa dengan syariat utama tentang bagaimana jilbab itu. Jiwaku terlena dengan pekerjaan yang kuaanggap mimpi itu. Tak ada lagi gamis ataupun rok panjang yang melilit pinggangku. Yang selalu ada hanya setelan blezer dengan celana panjangku. Walaupun jilbabku masih menutup dadaku. Tapi keberadaannya sudah tidak seperti dulu. Ada resah menggelayut sukmaku. Di sekitar area kerjaku tak nampak ku lihat, bahkan tidak pernah ku temui sama sekali, pemandangan seorang wanita yang berbaju syar'i. Tidak ada disini, wanita yang memakai pakaian kerja dengan gamis longgar dan jilbab lebar. Ketahuilah penampilan para eksekutif muda disini, hampir semuanya modis-modis semua. Mereka tak segan-segan untuk menaikkan penampilan jilbabnya menjadi setengah dada. Bahkan pernah kutemui kisah salah satu diantara mereka, ada yang berani sampai melepas jilbabnya hanya karena untuk memperoleh kejayaan dunia semata. Belum lagi kecurangan-kecurangan yang menikam kita di belakangnya. Kadang sakit terasa, kadang seperti dizolimi dalam perkerjaan ini. Tapi itulah kenyataannya, adakalnya benar jika ada yang berkata, bahwa ibu tiri  tak sekejam ibu kota. Seperti itulah sebagian ceritanya. Kujumpai dalam realita dunia. Faghfirlii ya Robbi, bukannya diri ini merendahkan keberadaa mereka. Bukan pula bahwa diri ini adalah paling baik keberadaannya. Akupun sama banyak dosa dan kesalahan dalam perjalanannya. Namun, tolong aku, jangan sampai Kau butakan mata dan hatiku karena dunia. Seperti apa tampak di depan mata. Perasaan berdosa dan bersalahpun semakin berkembang setiap harinya. Namun raga belum bisa berbuat apa-apa. Hanya sesekali tak sadar kadang menangisi dengan sendirinya.

Oh Tuhan, apa ini? Benarkah ini jalan yang Kau beri? Setiap hari bergelayut semua ini dalam hati. Tanda tanya besar dalam hati, tanda keresahan diri yang terus saja menghantui. Rasanya ada sedikit rindu menggelayut dihatiku, ada sesuatu yang aneh pada diriku. Semakin kesini, setiap harinya aku merasa menjadi orang asing bagi diriku sendiri. Terlebih setelah peristiwa konflik kecil itu. Dimana jati diriku yang dulu? Karena peristiwa itu, tiba-tiba aku teringat kesalahan-kesalahanku kepada Sang Maha Pemilik Waktu. Ya Allah, dia telah mengkhianatiku. Batinku seraya mengingat apa yang terjadi di ruang kerja beberapa waktu yang lalu. Picik sekali ulahmu, ratapku. Puas tertawa, kau telah berhasil menjatuhkan keberadaanku. Ambillah semua yang menjadi hak dalam pekerjaanku, berlarilah sesukamu hingga kau dapati semua dunia yang kau mau. Berputar-putarlah di atas penderitaanku. Menarilah di atas semua peluh dan dukaku. Tersenyumlah menyambut kekalahanku. Hari ini adalah hari terakhirku memburu sang waktu dalam dunia saham itu. 

Tiba-tiba saja badanku terasa layu, seperti tak berpijak menyusuri trotoar jalan raya ini. Menjerit rindu pada diriku yang dulu. Aku malu padamu Robbi, selama ini tak ada lagi jilbab lebar yang menjulur seperti dulu. Hari ini Kau menamparku. Membuatku sangat rindu kembali kepada-Mu.

Inilah kuasa Allah, yang telah menghempaskan aku ke dalam kesia-siaan yang terbungkus sembilu. Berkecamuk hatiku, mengenang semua memori masa laluku. Dan mulai membanding-bandingkan diriku yang kini sedang layu karena ulah patner kerjaku. Kantorku kini rasanya bak penjara bagiku. Tidaklah terasa ada damai menyenangkan dalam pergaulanku. Bahkan ketika GM mengajakku menemui klien, dan ternyata di diskotik katanya. Innalilahi yang langsung terucap dari bibirku. Ini bukan duniaku. Serasa seperti tirai besi yang membisu, yang memberikan kesengsaraan diri di perjalananku. Berawal dari situlah, semua konflik itu bermula. Hanya demi dunia, dan mendapatkan investasi yang menawan mata, kita harus memenuhi apa yang klien kita minta. Hanya untuk keberhasilan investasi saham sebesar 500 juta. Dan dengan bonus yang sangat luar biasa.

Tiba-tiba saja seketika terbayang mereka semua dalam pelupuk mata. Para akhwat, para adik-adik BBQ, dan juga para murobbi, yang kehadirannya selalu mendatang kesejukan raga. Membawa dan mengisi seuntai iman dalam diri kita agar aman. Satu persatu wajah mereka mulai bergelayut di binar mataku. Tanpa menghiraukan tubuhku, siang ini kaki terus ku paksa berjalan menyusuri jalan yang tak ku pahami kala itu. Diri mulai seperti lunglai, tak tahu arah hendak kemana. Ku ayunkan saja kaki, melangkah. Ku hentikan bus Kopaja yang sedang melaju, tanpa melihat nomor jurusannya terlebih dahulu, tanpa melihat kanan kiri. Dan kini, aku duduk terpaku di dalam sebuah  bangku bus Kopaja entah jurusan mana kala itu. seketika. Seiring lamunanku, tiba-tiba berdiri seorang pengamen di hadapanku. Mataku pun tertuju pada seorang pengeman yg berdiri tepat di depanku. Seorang pengamen yang mengenakan pakaian hitam putih dan peci hitam di kepalanya, sangat rapi sekali penampilannya. Lain daripada pengamen-pengamen yang lain. Dalam kesedihanku, ku nikmati alunan syair lagu yang keluar dari mulut pengamen itu. Sangat indah dan merdu sekali suaranya. Dia menyanyikan sebuah lagu religi, yang sangat sarat maknanya. Yang membuat mataku semakin basah karena resah. Kuamati pengamen tersebut, terdapat keterbatasan mental dalam dirinya. Namun ia bersemangat sekali mengais rezeki di dalam teriknya mentari. Sekilas terlihat sekali pancaran wajahnya, ada keteduhan dan ketenangan di sana. 

Kehadirannya membuatku terpana, apalagi setelah mendengar alunan-alaunan merdunya dan doa-doa baik yang terucap dari mulutnya. setelah ia selesai mendendangkan lagu-lagu religinya. Subhanalllah, Allah telah menciptakan tiada kesia-siaan. Karena di balik kekurangannya tersebut, Allah memberikannya sebuah kelebihan yang tidak semua orang memilikinya. Aku pun semakin terdiam, tak terasa hanyut antara kekaguman dan kesedihan.

Karena otakku yang sedang buntu dengan pikiran yang tak menentu, oleh sebuah masalah yang tak mampu melerai kemelut jiwaku, menjadikan diri lupa oleh jurusan kemana yang hendak ku tuju. Tak sadar, ternyata aku telah menaiki bus yang salah untuk menuju ke tempat tinggalku. Dan akhirnya dengan rasa penasaranku, akupun ikut turun ketika bus menurun pengamen itu. Diam-diam dari belakang ku ikuti dia berjalan. Entah apa kala itu yang ada dalam benakku. Aku hanya penasaran pada pengamen itu. Cacat fisiknya, maaf tangan sebelah kanannya hanya sampai siku dan sedikit sumbing bibirnya. Tetapi dengan keterbatasannya itu, tidak membawanya untuk menjadi seorang peminta-minta seperti kebanyakan kasus yang ada di ibukota. Ia lebih memilih menjadi pengamen dengan membawa alat karoeke sederhana (tape recorder) yang digantungkan dilehernya, dan sebuah mic untuk ia mendendangkan lagu-lagu religinya. MasyaAllah sungguh luar biasa. Membuat diriku merasa malu dengan keberadaannya. Dan semakin malu kepada Allah. Rindu itu mendatangkanmu untuk menegurku. Sehingga kakiku melaju mengikuti arah kakimu.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

🌈Melukis Pelangi Di Tengah Hujan

Cinta Sejati

🥀Perang Melawan Diri Sendiri