Pintu Hidayah #1

Cerbung....

(Bagian ke satu)

Sore di beranda itu, seseorang datang. Hanya untuk mengucapkan, "Aku akan pergi dan mengakhiri semua sampai di sini". Tidak banyak yang diucapkan, bahkan ketika diriku berusaha untuk membuka mulut tentang apa yang menjadi kehendakku. Dia tetap saja pergi meninggalkan beranda itu, berlalu bersama kata-kata yang diucapkannya tanpa menghiraukan keadaan saat itu. Sementara aku tak bisa lagi berbuat apa-apa, hanya mampu terdiam mencoba memahami maksud dari semua kata-kata yang terucap dari mulutnya itu. Entahlah, mengapa dia memilih cepat beranjak dan berlalu. Sementara diriku masih membisu. Tanpa memberi kesempatan kepadaku, untuk mengutarakan semua itu. Aku tidak tahu lagi mengapa dia mengakhiri semua itu, dengan hanya satu kalimat dan kemudian langsung berlalu. Apakah mungkin dia takut mengetahui kebenaran yang akan kukatakan, ataukah dia telah mengambil jalan yang baru. Di atas pilihan sikapnya itu. Dan di beranda masjid ini, aku hanya terdiam dan membiarkan dia pergi tanpa mengatakan sesuatu. Hanya sesak yang menggelayut di hatiku. Di atas keputusannya itu. Inikah jawaban istikhoroh di sepanjang malam itu. Sudahlah. Mungkin ini kehendak Allah, bahwa semua perjalanan itu tidak harus sesuai dengan apa yang kita harapkan. Karna Allah yang lebih memiliki kehendak atas hasil akhirnya. Walau hati penuh dengan banyak pertanyaan, tetapi apalah daya jika Allah yang memiliki kewenangan. Dan segala keputusan hanya milik Sang Pengendali Kehidupan, kini dan selamanya hanya Allah sebaik-baik pengharapan bagi setiap perjalanan. Tak ada yang paling berkuasa di dalamnya kecuali Dia, sekalipun kita telah berjuang keras di dalamnya.

Tak terasa tiba-tiba ada buih kristal yang tertahan membendung mata. Ya Allah apakah ini? Mengapa diriku merasa seperti kehilangan suatu permata yang telah ku cari lama. Kenapa harus ada buih kristal yang tertahan di atas kepergiaannya. Sementara tanpa kata, Zahwa yang sejak tadi duduk di sampingku tanpa basa basi langsung memeluk tubuhku dari samping. Sambil mengulurkan senyuman termanisnya seraya menghiburku. Seolah-olah dia tahu seberat apa gundahku, sambil berkata menguatkan hatiku "insyaAllah rencana Allah pasti baik May, dan Allah akan memberikanmu yang terbaik. Bukankah kamu pernah berkata jika wanita yang baik itu untuk laki-laki yang baik. Begitupun sebaliknya. Bukankah dirimu juga pernah mengatakan bahwa jodoh kita itu cerminan kita, Allah memberikannya sesuai dengan kadar keimanan kita. Namun jika Allah berkehendak lain di atas jodoh kita, dan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan,  bukan berarti kita buruk. Mungkin saja Allah hanya ingin menguji keimanan kita, makanya Allah hadirkan semuanya. Sudahlah patah satu tumbuh seribu, insyaAllah Allah akan memberikan yang terbaik sesuai kadar keimananmu. Karna kamu adalah orang baik May. Tidak seperti diriku yang tomboy ini, dan pergaulannya bebas." Seketika itu Zahwa bisa menjadi penyejuk dalam jiwa yang basah karna resah. Hatiku saat ini tak bisa menutupi gundah, apalagi di depan Zahwa. Sekalipun aku menahannya.
"Zahwa terima kasih, nasihatmu sudah menguatkanku. Sesungguhnya kamu juga orang baik, buktinya sampai hari ini aku tetap mau menjadi sahabatmu, sekalipun cara berpakaian bahkan terkadang cara pandang kitapun berbeda. Tetapi aku tetap bangga menjadi sahabatmu. Karna bagiku semua hanya soal waktu." (Sambutku sambil tersenyum kepada Zahwa)

"Maysa, kau memang sahabat terbaikku. Terima kasih juga, karna terkadang kau yang lebih sering menasihatiku. Tapi aku yang terkadang selalu cuek tak pernah mendengarkan perkataanmu." (Jawab Zahwa seraya membalas senyum kepadaku)

Saat ini aku merasakan seperti ada asa yang tenggelam, yang hampir saja terwujud dalam menuju tujuan. Tentang indahnya dakwah bersama sudah mengitari mata, menjadi bayang-bayang di atas kata-kata yang ku terima dari pertemuan sebelumnya. Namun, kini semua melebur dengan kecewa karna engkau membatalkannya dan memilih pergi begitu saja. Dan hanya menyisakan kata maaf saja. Tanpa memberikan kesempatan pada mulutku berkata apa-apa. Selain hanya meninggalkan buih kristal yang tertahan di pelupuk mata. Buih kristal yang kucoba agar tidak lepas membanjiri wajah ini. Aku diam dan hanya bisa beristighfar. Seraya mengucap terima kasih ya Robb.
--------***-------

Rasanya aku benci dengan semua rasa ini, rasa yang selalu saja terlihat seperti berlenggak-lenggok di tengah pegunungan serta pantai yang selalu ku singgahi. Rasa ini selalu saja membayangi dan mengikuti diri. Aku terasa rapuh kali ini. Mengapa hari ini tak ku temukan damai disini? Kenapa semua seperti tak bersahabat padaku hari ini? Ada rasa bahwa semua seperti menertawakan semua kerapuhanku di atas perjalanan ini. Mereka tak lagi meringankan gundahku. Padahal aku berharap kalian akan memberikan senyuman padaku hingga fajar mengisi. Tiba-tiba saja hari ini aku merasa benci pada laut dan pegunungan yang menatapku sejak tadi. Kemelut bergelayut di otakku sejak silih berganti. Kejadian beberapa hari yang lalu  itu, secara tak sengaja telah membuat buntu ideku. Kejadian di beranda itu, seperti telah melemahkan hatiku. Bahkan laut dan pegununganpun yang selalu menentramkan hati, saat ini tak mampu membawa damai jiwaku. Padahal mereka yang biasa menjadi sahabat hati. Suasana alam yang selalu menjadi tempat singgah diri, kini tak mampu lagi melerai segala gundah yang sedang berlari-lari di sanubari. Astagfirullah... berkali-kali istighfar yang hanya mampu terlontarkan melalui mulut ini. 

 "Aku akan meninggalkan kalian pergi dan aku tidak ingin kembali kesini...aku benci, kalian telah mengkhianati diriku kali ini!! Aku ingin melerai semua rasa dalam jiwa ini. Aku tak ingin berlama-lama dengan rasa yang seperti ini" Jeritku dalam hati pada laut dan pegunungan hari ini. Entahlah, mungkin karna aku benar-benar telah kalah hari ini. Ya Robb, ampuni hamba-Mu yang lemah ini, hingga menjadi  serapuh ini diriku kini. Ratapan itu menyeringai menghampiri. Seolah raga tak mampu lagi bertepi. Semoga badan ini masih diberi kekuatan oleh Illahi. Sehingga tak luntur kedewasaan iman yang terpatri. Agak tak terseok dan terjebak dalam perangkap rasa ini.

Aku lunglai diri kini. Aku menginginkan siang segera beranjak pergi, agar diriku bisa berbincang-bincang kepada langit seperti malam-malam kemarin yang menghampiri diri. Ingin ku adukan semua rasa yg sedang menyelimuti hati sejak pagi tadi, ingin ku adukan tentang perilaku laut dan pegunungan hari ini. Ya Robbi, biarkan aku tenang menyusuri pagi hingga sore-Mu saat ini. Berikan aku rasa damai, di atas perjalananku hari ini. Agar raga ini, tetap bisa menghampiri di sepertiga malammu nanti. Aku rindu merebahkan tubuh ke hadapan-Mu, aku ingin segera menceritakan semua yang menjadi  gundahku. Agar ringan beban hatiku, di atas harap dan tangisku kepada-Mu. Karna hanya dekapan-Mu yang mampu menyejukkan kalbu. Dan tiba-tiba saja aku teringat dengan sebuah puisi karangannya Zahwa, yang katanya semalan dia tuliskan spesial untukku. Kuambil lembaran putih dari dalam saku bajuku, ku buka dan ku jelajahi bait demi baitnya dengan penuh haru. Zahwa, dia adalah sahabatku dan sekaligus teman satu kostku.
===****===

Jagalah hati, jagalah pikiran ini
Walau waktu itu tak bisa ku putar lagi
Tapi aku yakin masih ada sinar mentari
Sebab Allah bersama orang yang sabar diri

Yakinlah akan ada sebuah penyelesaian pasti
Teruslah taat kepada Sang Illahi
Jangan menangis karena ulah bumi
Apalagi cerita dunia yang fatamorgana ini
Sudahlah!! tak usah banyak komentar lagi
Lakukan saja dengan  benar perintah Illahi

Karena terang akan segera menghampiri 
Kecewamu akan segera pergi
Berganti dengan senyum bahagia yang hakiki
Setia sajalah kau pada cinta sejati
Akan ganti yg lebih baik, itu pasti
Jangan menangis lagi

Sahabat tercintamu,,
ZahwašŸ¤—


bersambung.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Sejati

šŸ„€Perang Melawan Diri Sendiri

šŸŒˆMelukis Pelangi Di Tengah Hujan