MBA alias Married by AccidentšŸ˜±

Deg! Detak jantungku seperti terhenti tiba-tiba, ketika mendengar apa yang petugas KUA katakan. Sementara otak menerka-nerka, siapa aku, kok bisa begini. Mataku ingin basah, tapi aku malu dengan khalayak ramai disini.

"Ayahmu tidak bisa menjadi wali nikahmu, begitupun dengan adik laki-laki, paman, dan kakekmu. Jadi pernikahanmu nanti hanya bisa diwakilkan oleh wali hakim saja".

"Kenapa bapak bisa bilang begitu?"

"Nanti dirumah kamu tanyakan saja kepada orangtuamu, sebab mereka yg lebih mengerti. Saya disini selaku petugas hanya menjalankan tugas sesuai syariat dan mandat saja"

"Terima kasih pak".

Akupun keluar dari gedung KUA tersebut dg pikiran kacau balau, banyak praduga yang mengelilingi otakku terhadap diriku sendiri juga tentang orangtuaku. Mengapa bisa seperti itu, rasanya tak mungkin sekali.
***

"Assalamualaikum", kuucapkan salam dengan nada lunglai, utk kedua ortuku yang saat itu sdg duduk santai di ruang tamu.

"Wa'alaikumsalam", jawab ortuku dengan lembut.

Tanpa banyak bicara, akupun langsung duduk berhadapan tepat di depan mereka. Seketika itu pula mataku mengeluarkan buih kristal yang lebih dulu tak mengenal aba-aba. Ingin rasanya langsung ku teriak, kenapa begini. Kenapa petugas itu berkata demikian kepadaku. Tapi aku sadar, bahwa itu bukanlah hal yang benar.

Kuatur nafasku dg sempurna, meski buih kristal itu tak bisa lagi dibendung kehadirannya. Kuceritakan perlahan kepada mereka tentang penjelasan yang telah kuterima dari petugas KUA.

"Ayah, ibu, maafkan Riana sebelumnya. Kenapa, kenapa, kenapa?" Aku terus mendesak mereka dengan tangis yang mulai pecah.

Sementara ayah dan ibuku hanya terdiam, dan berkata, "Maafkan kami nak". 

Lirih terdengar suara istighfar terucap dari mulut mereka. Mereka terus saja istighfar, derasnya airmata tak bisa dibendung lagi. Istighfar yang terus menyertai mulut mereka di atas isak tangis yang menjadi. Akupun mulai membuat praduga di atas jawaban dan isak tangis mereka. 

"Jangan-jangan ada yang tidak beres" batinku dalam hati. Pikiranku sudah benar-benar kacau balau, tak bisa berpikir jernih lagi.

"Tolong jelaskan ibu, kenapa? Ayah? Lebih baik batalkan saja pernikahan ini. Terlebih tentang nasabku. Aku ingin nama ayah yg ada di belakang namaku. Karena..."

Belum sempat mulutku melanjutkan perkataan, tiba-tiba datang kedua adikku dengan calon suamiku. Mereka mengulurkan senyum kepadaku. Ibu menyambut calon suamiku dengan rona bahagia, dan mempersilahkan mereka duduk di sofa ruang tamu.
 
"Teh, apa kata petugas KUA itu benar. Dan aku sudah mengetahui semua tentangmu. Maafkanlah kekhilafan masa lalu ayah dan ibu". 

Calon suamiku yang saat itu masih memanggilku dengan sebutan teteh, memulai kata dan menjelaskan semuanya dengan panjang lebar terkait tentang diriku. Bagaimana Islam mengaturnya di atas kejadian masa lalu yang pernah terjadi terhadap orangtuaku.

Mendengar penjelasan yang sama untuk kedua kalinya di rumahku sendiri, rasanya dada ini tak kuat untuk menahan sesaknya. Akupun langsung lari ke kamar, menangis sejadi-jadinya. Tak kuat rasanya menerima semua kenyataan ini. Apalagi ketika akad nanti aku harus memakai binti nama ibuku, bukan ayah biologisku. Hari itu aku langsung mengurung diri di kamar, tanpa peduli bagaimana suasana hati orangtuaku. 
***

Tiga hari lagi adalah hari H akad nikahku. Sementara hatiku masih saja dirundung pilu karena statusku. Rasanya tak percaya, rasanya tak bisa menerima, tapi ini terjadi dan inilah takdirku. 

Malam semakin larut dan suasananya terasa syahdu. Aku termenung di atas sedihku. Di keheningan malam, aku bersimpuh ke hadapan Sang Pemilik Waktu. Memohon bantuan-Nya untuk menguatkan bahu.

Benar kata calon suamiku, bahwa aku tidak menanggung dosa atas perbuatan orangtuaku dulu. Meskipun secara Islam aku ikut menanggung konsekuensi duniawinya. Tapi itulah hukum dalam agamaku yang sempurna itu. Dan akupun telah menyaksikan bagaimana kedua orangtuaku, telah bertobat dengan sebenar-benar tobat atas perbuatan masa lalunya.

Kuterima takdirku diatas statusku, demi keabsahan pernikahanku. Tak mengapa memakai wali hakim dan nasab ibuku. Toh, calon suamiku pun tak mempermasalahkannya. Ia menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada. 

Ku kubur dalam-dalam tentang statusku. Ku tatap masa depan lewat doa tengah malamku. Semoga Allah menerima tobat nasuha kedua orangtuaku, dan mengampuni dosa-dosa masa lalunya, apabila di masa kelamnya mereka pernah berzina hingga terlahirlah diriku. Sebab selama ini, aku benar-benar telah menyaksikan mereka orang yang alim. Banyak dalam istighfar, dan mengajarkanku banyak kebaikan. Salah satunya pentingnya menjaga Izzah/kehormatan bagi seorang wanita. Bagaimana mereka selalu mengingatkan, hati-hati jangan MBA alias hamil di luar pernikahan, dan terpaksa cepat2 menikah karena sudah kecelakaan. 

Pagi harinya, aku langsung beranjak menemui ibuku dan membantunya. Yang kala itu terlihat sedang sibuk memasak di dapur. 

Belum sempat kakiku melangkah ke dapur, tiba-tiba ibuku langsung membalikkan badan dan langsung memelukku dengan begitu eratnya sambil menangis tergugu. 

Kemudian mengucapkan sebuah kata "Maafkan ayah dan ibu nak, di atas kekhilafan masa lalu kami".

"Sudah Bu, sudah. Itu masa lalu, jangan diungkit-ungkit lagi. Nasi sudah menjadi bubur, semua masa lalu itu sudah selayaknya dikubur".

Hatiku kini terasa lega dan lapang, menerima kenyataan. Kuambil ibroh dari semua perjalanan. Masa depanku lebih penting sekarang, untuk bagaimana menjaga keturunanku agar tidak terjerumus ke dalam lembah kebebesan yang kebablasan. Dan semoga kelak, Allah menjaga dan melindungi keturunanku. Hidup itu memang penuh liku dengan beraneka warna masa lalu. Namun seperti apapun warna masa lalu itu, jangan menjadi belenggu untuk kita bisa menjemput hari yang baru dan memperbaiki iman yang pernah terbelenggu.  
***

Dan kehidupan manusia pastilah semuanya punya masa lalu. Namun bagaimanapun masa lalu itu, jangan sampai keberadaannya tidak mampu mengubah sikap kita untuk menjadi lebih baik dan taubat nasuha. 

Ketahuilah! Bukan main-main tentang MBA (Married by Accident) ini, karna selain dosa juga banyak kerugiannya bagi anak keturunan sang pelaku. 

Apa sajakah itu? Antara lain:

1. Anak hasil hamil diluar nikah tidak dinasabkan ke bapak biologisnya. Melainkan dinasabkan kepada ibunya. Jadi binti/bin nya gak boleh pakai nama bapaknya, tetapi memakai nama ibunya.

2. Tidak ada saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil hamil di luar nikah. Artinya anak yg lahir tersebut, kehilangan hak waris dari bapak biologisnya.

3. Bila anak itu perempuan, jika sudah dewasa ingin menikah, maka walinya bukan bapak biologis nya, akan tetapi memakai wali hakim, karena anak hasil di luar nikah tidak memiliki wali. Sekalipun bapak biologisnya tsb telah menikahi ibunya.

5. Ayahnya tidak memiliki kewajiban untuk menafkahi anak hasil di luar nikah tersebut.
"Anak dari hasil hubungan diluar pernikahan dengan wanita merdeka maka, anak tersebut tidak dinasabkan ke bapak biologis nya dan tidak mewarisinya."  (HR. Ahmad, Abu Daud)

Waallahualam bisawab.

Cerpen ini hanyalah cerita fiktif belaka. Untuk diambil ibrohnya/ pelajarannya. Tidak ada satupun tujuan menjudge di dalamnya. Hanya untuk saling mengingatkan dan sama-sama belajar. Semoga Allah melindungi dan menjaga, seluruh anak cucu keturunan kita dari hal-hal demikian. Dan menjadikan mereka anak-anak yg sholih/sholihah. Aamiin.

Komentar

  1. Baru tahu konsekuensi dari MBA, terima kasih mba sdh mengingatkan. Cerpennya singkat namun sarat ilmu.

    BalasHapus
  2. Married by Accident is MBA, note!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Sejati

šŸ„€Perang Melawan Diri Sendiri

šŸŒˆMelukis Pelangi Di Tengah Hujan